Masjid Darul Mukhlisin Aceh Tamiang
Masjid Darul Mukhlisin Aceh Tamiang/ Screenshot YT TVOne

5 Fakta Masjid Darul Mukhlisin Aceh Tamiang yang Menahan Gelondongan Kayu Raksasa Pascabanjir Bandang

Diposting pada

ACEH TAMIANG — Sebuah video dan foto yang beredar luas di media sosial menunjukkan pemandangan luar biasa, sebuah masjid kokoh berdiri, sementara di sekelilingnya, gelondongan kayu berukuran besar berserakan dan teronggok. Itulah Masjid Pondok Pesantren Darul Mukhlisin di Desa Kebun Sungai Liput, Kecamatan Seruway, Aceh Tamiang, pascaterlanda banjir bandang pada akhir pekan lalu. Bagaimana masjid ini bisa selamat dari terjangan air dan kayu gelondongan yang besar? Berikut fakta-fakta lengkapnya.

Nama Darul Mukhlisin memiliki makna yang dalam. “Darul” berarti rumah atau tempat, sementara “Mukhlisin” berasal dari kata “ikhlas”, yang dapat diartikan sebagai “Rumah Orang-Orang yang Ikhlas”. Ponpes ini didirikan dengan semangat ketulusan dalam menimba dan mengamalkan ilmu. Menurut sumber dari pengurus pesantren, masjid bukan hanya sebagai tempat salat, tetapi juga menjadi sentral aktivitas belajar-mengajar dan pembinaan akhlak santri. Lokasinya yang dekat dengan aliran sungai membuatnya rentan terdampak banjir, namun bangunannya dirancang dengan fondasi yang kokoh.

Desain & Fondasi Kokoh yang Terbukti Tahan Terjang

Fakta pertama yang terungkap adalah tentang struktur bangunannya. Berbeda dengan beberapa rumah warga di sekitarnya yang mengalami kerusakan parah, badan masjid ini relatif utuh. Berdasarkan penuturan Ustaz Fauzi, salah seorang pengajar di ponpes, kepada media lokal, masjid tersebut memang dibangun dengan fondasi yang dalam dan material pilihan beberapa tahun silam.

“Alhamdulillah, bangunan masjid dan ponpes selamat. Air dan kayu membentur dinding, tapi tidak tembus ke dalam. Hanya lingkungan sekitar yang penuh lumpur dan kayu,” ujarnya. Arsitektur sederhana namun kuat ini menjadi bukti nyata pentingnya perencanaan konstruksi yang memperhitungkan risiko bencana, khususnya di daerah yang rawan banjir bandang seperti Aceh Tamiang.

Menjadi ‘Bendungan Alami’ dan Titik Evakuasi Warga

Fakta kedua yang paling heroik adalah peran masjid selama bencana. Saat banjir bandang menerjang membawa puluhan gelondongan kayu dari hulu, bangunan masjid yang kokoh secara tidak sengaja berfungsi sebagai “penahan” atau filter alami. Kayu-kayu besar itu terhenti dan tertahan di sekeliling bangunan masjid, mencegahnya untuk hanyut lebih jauh dan mungkin menabrak pemukiman di hilir dengan energi yang lebih besar.

Lebih dari itu, lantai dua masjid sempat dijadikan tempat evakuasi sementara bagi warga dan santri yang terjebak sebelum bantuan tim SAR datang.

“Masjid menjadi tempat yang paling aman saat itu. Kami mengungsikan beberapa warga ke lantai atas,” tambah Ustaz Fauzi. Peristiwa ini menguatkan fungsi masjid sebagai pusat komunitas dan perlindungan di saat krisis.

Gunungan Kayu Gelondongan yang Mengungkap Masalah Hulu

Fakta ketiga justru terletak pada materi yang mengepung masjid, gunungan gelondongan kayu berukuran besar. Keberadaan kayu-kayu ini bukanlah fenomena biasa dalam banjir. Ia mengindikasikan adanya aktivitas penebangan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Tamiang. Peneliti dari Forum Peduli DAS Aceh yang dikutip dalam sejumlah pemberitaan menyebutkan, banjir bandang yang membawa material kayu gelondongan seringkali terkait dengan degradasi hutan.

Kayu-kayu tersebut diduga berasal dari aktivitas legal maupun ilegal di kawasan hulu, yang kemudian terbawa oleh aliran air deras saat hujan dengan intensitas tinggi. Fakta ini menyisakan pekerjaan rumah besar bagi semua pihak tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan untuk mencegah bencana serupa terulang.

Solidaritas Warga dan Proses Pembersihan yang Cepat

Fakta keempat adalah tentang respons komunitas pascabencana. Setelah air surut, pemandangan di sekitar Masjid Darul Mukhlisin dipenuhi oleh lumpur tebal dan tumpukan kayu. Melalui gotong royong yang dipimpin oleh pengurus ponpes dan perangkat desa, warga bersama-sama membersihkan lingkungan masjid.

Proses evakuasi kayu gelondongan memerlukan usaha ekstra karena ukurannya yang besar dan berat. Beberapa kayu bahkan memerlukan alat berat untuk dipindahkan. Solidaritas ini menunjukkan bagaimana bangunan ibadah yang selamat langsung menjadi episentrum pemulihan dan semangat bagi masyarakat sekitar untuk bangkit.

Refleksi Ketangguhan Fisik dan Spiritual

Fakta terakhir adalah fakta simbolis. Keberadaan Masjid Darul Mukhlisin yang tetap tegak di tengah chaos bencana menjadi simbol ketangguhan ganda: secara fisik (bangunan) dan secara spiritual (keyakinan masyarakat). Bagi warga setempat, keselamatan masjid ini dilihat sebagai suatu keberkahan dan perlindungan.

Insiden ini juga mengingatkan pentingnya mitigasi berbasis komunitas dan kearifan lokal. Pembangunan tempat-tempat ibadah dan publik di daerah rawan bencana selayaknya memprioritaskan aspek keselamatan dan kekuatan struktur, sehingga bisa berfungsi ganda sebagai tempat ibadah dan shelter darurat ketika dibutuhkan.

Kisah Masjid Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang meninggalkan dua pelajaran penting. Pertama, investasi pada pembangunan berkualitas dengan fondasi yang kuat akan teruji di saat-saat kritis. Kedua, dan yang lebih mendasar, bencana yang membawa material kayu gelondongan adalah alarm nyata tentang kesehatan ekosistem hulu. Ketangguhan sebuah bangunan saja tidak cukup tanpa diiringi dengan ketangguhan pengelolaan lingkungan di sekitarnya.

Kini, aktivitas di ponpes dan masjid tersebut perlahan kembali normal. Kayu-kayu gelondongan telah mulai dipindahkan, dan pembersihan lumpur terus dilakukan. Kejadian ini telah mengukir sejarah baru bagi Darul Mukhlisin, bukan hanya sebagai rumah bagi orang-orang yang ikhlas, tetapi juga sebagai saksi bisu dan benteng pertahanan saat alam menunjukkan amukannya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *